Skip to main content

Posts

Showing posts from September, 2016

Asmara Rindu

Mata sendu Jangan merayu Hanya akan membuat ragu Biar rasa itu menunggu Seiring berjalannya waktu Ketika obrolan kita menjadi satu Lesung pipi Asmara yang menusuk hati Wajah yang sekarang ku nanti Menjadi perusak memori Selalu hadir di setiap mimpi Di mataku tinggal dia kini Mata sendu, hujan rindu di mataku Lesung pipi, seorang pujaan hati

Tuhanku,

Dalam sendiri Aku takut pada hari Waktu berputar mengelilingi Tuhan, Aku buntu Sedang butuh tandu Aku masih menunggu Doaku, kapan aku dituju Tuhan, Aku linglung Lara hati kini menggulung Hendak meledak seperti gunung Tuhan, Mukaku memerah Aku ingin marah Hatiku kini penuh amarah Dekap aku agar tidak jatuh diinjak tanah

Monolog

Lalu apa yang terjadi padaku? Jangan hanya tersenyum, ini bukan hal yang lucu Kau tidak harus jujur padaku Katakan hal yang membuatku bahagia Seperti hujan saat ini, indah Biar saja langit menderita Toh, bumi akan sangat bahagia Aku mengajakmu bicara, jangan diam Bungkammu itu pertanda cinta atau kebencian Bukan maksudku ingin tahu Tapi aku terlanjur penasaran Karena hatimu seperti badai yang tidak bisa aku perkirakan Selangkah dua langkah Tidak cukup untuk bisa mengerti kan? Sekalipun aku rindu

Wanka

Hidup penyair tak pernah sesederhana film. Hidupnya demi keindahan tak bisa mewujudkan hatinya. Rindu dan cinta hanya bumbu dari derita. Kisahnya tak pernah ditulis karena terlampau sulit Seperti puisi, penyair itu singkat dan rumit Karena, sendiri baginya adalah keteduhan Ramai adalah musuh yang menjadi bagian Orang jadi asing karena keramaian Sedang penyair hanya mengakui kawan dalam sendiri Hatinya itu pintu yang selalu terkunci Hanya muat satu dua kawan Baginya cukup, kalau saja tidak pergi meninggalkannya Ternyata, kawan sama saja Penyair duduk berdua dengan sahabat pena

Surat biru

Jika bom atom pertama jatuh di hiroshima Jepang hancur lebur tak bersisa Maka bom juga jatuh tepat di atas kepalaku Rintihannya tak akan sampai di telingamu Sejak surat undangan berwarna biru penuh cinta kau layangkan Entah aku harus bersyukur Atau melepas tangisan pada bumi Dukanya kapan ia akan sembuh Hidup dan kopi akan sama pahitnya kini Yang ku sebut gula, rupanya bukan milikku

Tenda

Sebuah tenda mengingatkanku Bahwa aku memulai malam itu sendiri Bahwa aku memukul mundur malam Aku merayu hujan untuk tidak turun Meredamkan hati agar tidak dikoyak takut Aku menggantungkan diriku pada kegelapan Tanpa yang ku sebut teman, Yang ternyata hanya datang karena kepentingan Aku berjalan dalam keheningan Mampus, pikirku bila binatang menerkam badan Aku akan hilang bersama malam penuh kesunyian Dan mungkin semalam suntuk akan ngobrol dengan tuhan

Benar

Kau benar Aku tidak punya banyak teman Bahkan kau bisa menghitung dengan jarimu Bahkan untuk teman bicara, aku tidak punya Aku sering diam Lalu bicara pada diriku sendiri Bahkan aku sudah gila karena berbicara pada cermin Aku berpikir untuk mengklonkan dirimu Berdua untuk tidak kesepian Tidak ada yang menanyakan kabarku Selama ini orang hanya datang dan pergi Tidak ada yang benar2 berteman menyentuh hati Mereka hanya sekedar basa basi Semua pertemanan hanya karena kepentingan Jika tidak, mereka tidak akan menghubungiku dan menyebutku teman Lalu kenapa kau bilang aku aneh?

Teman seperjalanan

teman seperjalananku, yang aku sayangi dan aku kasihi dia sangat manis, tapi dia akan meninggalkanku Kenapa kau melakukannya padaku? aku paham takdir, jadi kita tidak perlu terlalu berteman adalah alasan aku enggan berbagi enggan terlalu dekat karena pasti kau akan meninggalkanku jika melangkah terlalu jauh itu menyakitiku aku sudah belajar berjalan sendiri terlepas bisa atau tidak

Dari sini

Aku sendiri Melihat pesawat terbang ke arah bulan Entah itu utara atau selatan Barat, timur atau arah lainnya Semarang terlihat seperti ribuan bintang penuh cahaya Di sini dingin, sudah pasti kopi terlihat begitu nikmat Aku tidak perlu lampu, atau pencahayaan lainnya Cahaya bulan sangat memukau di sini Dalam perjalananku di antara kebun teh penuh rindu Aku tidak yakin, sambil memperhatikan malam Ku hitung bintang penuh kesungguhan Kau akan sangat iri, Aku melihat bintang jatuh dengan indah Dari sini

Hutan

Tempatku berlari, dari hidup Kenapa aku tidak mati dimakan binatang buas Atau jatuh terperosok ke dalam jurang Lebih lebih jatuh kesandung menabrak pohon Atau hilang tersesat, lalu mati karena tidak bisa pulang Di dalam hutan gelap Aku berpikir Tuhan menyelamatkan, agar bisa menyiksa di dunia Agar tidak bisa hidup dengan mudah Kenapa aku harus baik baik saja

Jiwa

Oh jiwa, aku sedang menderita Apa yang lebih tidak berguna daripada diriku? Aku tidak punya harta, Apalagi cinta, mustahil rasanya Urusan perut membuatku terlunta- lunta Usahaku menjadi seperti kentut kera Apa yang lebih menyedihkan daripada ini? Oh jiwa, sang penguasa tidur Bisikku terdengar masuk telinga kanan Lalu menembus telinga kiri Ada yang tahu, tapi menganggap tidak mau tahu Aku bangunkan allah, Tidak ada pergerakan Oh jiwa, aku ini hina Dibuat sedemikian rupa Kini doa tinggal nama Lalu lari mencari rumah allah, mengadu Mungkin tidak mendengar berita Bahwa aku sedang sangat menderita Dan hampir lupa bahwa allah itu ada

Zona kebenaran

Jalan kebenaran sekarang sepi Zona aman dipilih karena umpan materi Kini, memilih berjalan sendiri Sekalipun tahu nyawa kerap diintimidasi Kekuasaan kini menjadi andalan Lebih berarti ketimbang kebenaran Lalu banyak yang tahu tapi membiarkan Penguasa lalim menggunakan kekuatan Dan dia dibunuh karena mencari kebenaran

Jarak

Aku merasa terluka, Bersamamu hidupku menjadi berwarna Aku merasakan bahwa hidup ini manis Aku melihat surga ketika bersamamu Kerinduan selalu mengatakan bahwa jarak memisahkan Tapi mengapa, sekalipun kita mendekat, jarak diantara kita tidak berkurang Kita berdua bersama, tapi aku merasa sendiri Ya Tuhan, siksaan seperti apa ini Kita seperti langit dan bumi Bukan perbedaan yang memisahkan kita, Kita selalu berhadapan, berjalan bersama setiap hari Kita saling berpandangan dan memperhatikan Tapi takdir sedang menyiksa kita Kita berdua jauh berjalan Seperti dua orang musafir Saling menjaga dan menyayangi Dengar, kawan seperjalananku Seseorang yang ada dalam doaku Jika esok pagi kita berpisah Bolehkah aku marah pada takdir?

Lupaku

Aku hilang di jalan Di tengah hujan Di akhir malam Sendiri di hutan Aku lupa, untuk apa? Aku menangis, untuk siapa? Mengapa aku menangis? Aku lupa, Aku tak tahu jalan pulang Kiri, kanan, serong, mengapa sama? Cahaya turun dari langit Bintang utara menghilang Navigasi penuntunku pulang Aku, apa bisa pulang? Aku lupa untuk apa? Pulangku untuk siapa? Mengapa aku harus pulang? Aku lupa,