Skip to main content

Posts

Showing posts from 2017

E I

Cinta, aku tidak melihatnya Aku tidak merasakannya Aku tidak menyangka dia ada Aku tidak perlu mengakuinya Aku tidak ada huhungan dengannya Aku tidak peduli

Kunang III

"andai" membunuhmu pelan-pelan Dia menenggelamkanmu dalam angan-angan Menawarkan keindahan Seolah pujaan hati dalam pelukan Nirwana penuh kebahagian Dia menertawakan kenyataan Jarak, jauh dari genggaman Susah payah menyambung jalinan Tak sampai, tertelan jaman Pahit yang dirasakan Harapan jatuh berantakan Hati patah tak terselamatkan

Nta

Aku menilai dari diriku Cinta, bukanlah perkara mudah Perasaan itu tidak bisa ku mengerti Tidak seperti gula, manis Asin garam dapur Bukan juga cabe yang pedas Pertanyaan definisi yang aneh Hati tidak dapat menjelaskan Pikiran menolak ikut campur Namun, sesuatu terjadi Sebuah bagian raga merasakan Cinta, bagaimana bisa kau menyebutnya Sedang kau tidak mengerti batas-batasnya

Tanya mengapa

Ada angka Mereka bergantungan di dinding kepala Membuat sakit di tiap detiknya Sedang telinga berbisik meminta jawaban Kegamangan dan keingintahuan saling menyalahkan Padahal keduanya sama tak ada bedanya Mulut bergetar, nak jawab namun tetap diam Dibuka menganga, tapi tak bersuara Dosa apa dan coba yang menimpa Tak ada yang berani mempertanyakan

Gunung

Aku terima keputusan Aku lari dari kerisauan Gunung, mengambil alih derita Sesuatu yang tidak bisa diingkari Ketidakmampuan membahagiakan diri sendiri Aku menulis tentang hati yang kritis Terhantam dingin angin malam Jika takdir bersikap adil Niscaya bahagia itu ada Meski tanpa apapun juga Meski kesusahan dan derita menertawai

Jalan kaki

Ketika aku mulai berjalan Lalu menginjakkan kakiku Aku selalu bertanya Apakah ini jalan yang benar? Benarkah ini jalannya? Atau ini salah? Salahkah ini? Seperti sebiji paku menyelip di kakiku Gaduhnya pikiran menjadi-jadi Takut, aku masih merasakannya Mengambang ribuan pertanyaan Ya Raab berikan aku kekuatan

MUZ VIX

Kau mengajarkan segalanya padaku Pandangan mata adalah cahaya Senyum dijadikan pertanda Suara yang telah menyentuh jiwa Hati yang meluluhkan keegoisan Raga yang memperlihatkan cinta Ketidakmungkinan yang selalu aku semogakan Kau memberikan segala derita Tentang resah gundah di saat jauh Ketakutan dalam kesendirian Hari-hari yang menyiksa tanpamu Menggantungkan diriku padamu Ku harap kau tak meninggalkanku

Rumahku

Jika waktu senggang Aku tiduran di ranjang Depan sebuah tv tabung besar Satu demi satu kuhitung Tumpukkan tembok batu bata merah Sebagian tak terlapisi Lalu atap genteng di atas kepalaku Dari kanan ke kiri lalu vertikal Aku menghitungnya Dikotak-kotakkan reng kayu Juga sebuah kendi dan bendera Sebagai pusat atapnya Di waktu senggang rumahku itu Aku mulai memahami Dia bukan sekedar hunian biasa

Muak

Kau membuat kesalahan Tak habis pikir Dan aku yang harus menanggungnya Selama ini, tidak bisakah Berhenti dan cobalah Baru sekali ini aku berpikir untuk bahagia Kandas begitu saja Aku tak jadi bahagia Aku muak,

Ingat

Mengingatkan Haru deru rindu Api yang membara Langkah yang membelenggu Suara nafasmu Irama cinta dalam lagu Ketukan hatimu Membawamu kepadaku

Kawan?

Aku memanggil namamu Agar kau mendengarku Terus ku ulangi Suaraku, rintihan hujan pagi Jatuh membasahi bumi Ku coba lagi dan lagi Tapi kau tetap tidak mengerti Malah mengabaikan diri ini Panggilanku penuh arti Namun kau berpaling menjauhi Kini tak bersisa lagi Sedikitpun takkan kau jumpai Meski kau ketuk hati Terlanjur kau lukai Meski air mata membasahi Tak akan aku kembali Bahkan secuil harapan kini mati Kawan macam apa kau ini?

Hias

Hiasan apa itu Dari mana dia datangnya Kehampaan ini menenangkan Biarkan aku begini Biar dengar koyakan hati Biar duka menertawaiku Biar luka puas

MUZ XVIII

Sulit untuk ku percaya Perasaan ini begitu melelahkan Luka bilang tidak mudah memaafkan Sedang cinta menerima segala kesalahan Mengapa kau begitu menyiksa hatiku Sedang aku tidak mampu mengabaikanmu Tajamnya pedang di tanganmu Tidak lebih mampu menyakitiku Ketidakmampuan mencegah perpisahan Penyesalan dan lukamu Mengapa aku ikut menderita Jangan melakukannya padaku Sungguh meski aku marah padamu Tak sedikitpun cinta berkurang untukmu

MUZ XVII

Keindahan itu ada di mana-mana Dalam diam, kesunyian Tersembunyi dalam keraguan Perasaan pada seorang kekasih Angin yang menguraikan rambut Ketegasan kelopak mata Secangkir kopi pahit Wajah yang manis Suara kedatangan kekasih Bayangan yang tersenyum Penuh kecemburuan Kemarahan yang aneh Semua ada pada dirimu Segalanya dihiasi untukku Ya Raab,

MUZ XVI

Kadang kesalahpahaman ada Dan kita tidak bisa menghindarinya Bahkan cinta tak bisa menguraikan Jalan nampak mulai berseberangan Canggung untuk dikatakan Ikatan yang dililit merenggang Karena panasnya bara kekesalan Perlahan saling mengabaikan Namun cinta memberi penolakan Dan meminta perhatian Untuk mengalah menunduk Hanya waktu yang dapat menyelamatkan

Hare I

Diam itu teka teki Satu perasaan yang tak bisa berhenti Perjalanan mencari arti Pengembaraan seorang diri Bahkan meski ku tulis Harapku, sedihku, kedukaan yang menimpaku Bagaimana caramu memahami

MUZ XV

Mereka tidak tahu Kini berbagai bunga tumbuh subur di sanubariku Entah itu mawar, lily, atau melati Wanginya mengabarkan berita kedatangan pujaan hati Mereka tidak tahu Kini hatiku terikat dengan hatimu Kegelisahan di matamu Namun rasa sesak justru memenuhi uratku Dukamu jadi empedu bagiku Mereka tidak tahu Kini rindu mengoyak-koyak Kau dan aku

MUZ XIV

Aku sampaikan kekecewaanku Sebagaimana dulu ku kabarkan rindu Dingin kini menghantuiku Entah itu rasa penasaran Atau ketidakpercayaan Nyatanya hatiku terluka dalam Aku selalu berpikir Apa yang sedang kau pikirkan? Bagaimana caranya mengerti dirimu? Namun resah mengelilingi perasaanku Aku lari sekejap darimu Mengadu perasaan pada madu Namun yang nampak hanya dirimu Mengejar-ngejar hasratku Menguasai kegilaan pikiranku Bagaimana bisa kau menyiksaku seperti ini?

Mendakwa

Tidak diragukan Jurnalisme tidak tegap lagi Miring diterpa angin Menghambur kabur Benar salah dikubur Tinggal siapa yang berani menawar Keadilan pura-pura diukur Digantung sesuai untung Mereka berlindung agung Kode tak lagi pakai etik Pakai duit, titik!

Mimpi

Aku ingin tidur Tapi mimpi malam kemarin menggangguku Siapa lagi yang akan aku hadapi? Kalian datang bergantian Jangankan rindu Aku membuat janji untuk tidak mengingat masa itu Senyum itu pertanda aneh

MUZ XIII

Ada hal yang tidak kau mengerti Diujung malam bulan begitu terang Menandakan cinta yang mendalam Aku mungkin tak bicara Tapi angin akan menyampaikannya padamu Rasa ingin terus melihatmu Meski siang ataupun malam Hatiku mengatakan tak bisa jauh darimu Kita mungkin jarang saling bicara Tapi semesta mengatakan semua Aku dan kau seperti kelana Mengembara mencari makna cinta Namun kini berhenti di tambatnya Yaitu dihatimu

MUZ XII

Aku suka berjalan sendiri Di hari orang tidak mengenalku Saling sapa orang asing Melihat dengan datar Penuh curiga dan tanya Dikelilingi sungkan Tapi begitu perhatian Persamaan dalam kekurangajaran Ide bagus untuk dibicarakan Peristiwa begitu mengesankan Di balik dinding langit Aku mencuri dari seseorang Sebuah hati Pesankan rindu yang membara Meski bersama

Sisa

Banyak hal yang hilang Perjalanan ini mengatakan Keharuan yang luar biasa Tidak ada lagi seorang kawan Hanya angin yang tersisa Apalagi yang mesti aku takutkan? Lariku hutan muram Derasnya air dalam kegelapan Ditembus kesukaran pengembara Apalagi yang mesti aku takutkan? Terlalu banyak kehilangan

Penggoda

Carilah penggoda yang membuatmu bahagia Senyummu yang sangat menyebalkan Mana mungkin aku melupakannya Bakat mengejekmu padaku Aku sangat menyukainya Diammu begitu menyiksaku

MUZ XI

Tangismu adalah pisau penyayat hati Kutukan dari tingkah lakuku Air mata itu penenggelam nyawaku Jiwaku lekas meninggalkanku Berhentilah dan hukum aku Relakan hatimu memaafkanku Atau lakukan apapun padaku Berhentilah menumpuk kesedihan Berikan semua dukamu padaku Kesalahan mengalirkan air mata Kebodohan diriku ini Seperti hukuman seumur hidup bagiku Bahagialah kekasihku

Anak

Gaya yang mendesak Ulah dunia maya Remaja yang mematikan Berjubel cari kerjaan Demi tampil mengesankan Semoga sembuh sampai ke akar-akar Biar sadar Anak-anak menggelora mengejar kedewasaan Haus rekanan dan pujian Bergerombol penuh kebanggan Namun ketakutan ketika sendirian Mental yang dibangun tak sepadan Menghambur hancur

Anak

Gaya yang mendesak Ulah dunia maya Remaja yang mematikan Berjubel cari kerjaan Demi tampil mengesankan Semoga sembuh sampai ke akar-akar Biar sadar Anak-anak menggelora mengejar kedewasaan Haus rekanan dan pujian Bergerombol penuh kebanggan Namun ketakutan ketika sendirian Mental yang dibangun tak sepadan Menghambur hancur

Meski Sendirian

Aku tidak berusaha meyakinkanmu Tidak ada untung dan gunanya bagiki Kebenaran tidak akan berubah Meski dia tanpa dukungan Meski dia sendirian Meski tanpa kawan Paling-paling aku berpaling Mendengar sesalmu kemudian

HARE

Aku ada Dalam kesunyian Dalam kegelisahan Dalam keragu-raguan Dalam kegelapan Dalam ketakutan Dalam kesepian Dalam keputusan-asaan Dalam luka dan duka Dan dalam kesendirian Mu Dan akan tiada Dalam keramaian dunia Mu

MUZ X

Malam tumpukkan kesedihan Air mata penyanyat hati Rindu, Rindu, ku ulang hingga jauh Terdengar rintihan kalbu Dirimu dan aku, Aku yang sering mengacuhkanmu Ada ketakutan tersembunyi Perasaan cinta Akankah terbalas,

MUZ IX

Sekali ini aku bertanya Setiap kali perhatian itu ada Tanpa melihatmu, aku merasa ragu Apakah kau baik? Akankah rasa kesalmu telah sirna? Melewatkanmu, sesalku Selalu Mungkin aku melukaimu Sekali lagi aku mengulangnya Rinduku amuk senja

MUZ VIII

Berbeda kali ini Pandanganku syahdu Mata-mata jahat itu menggangguku Lihat betapa menawannya dirimu Kekasihku, pelita harapanku Hidupku kini bergantung padamu Seperti nafas yang menderu Isi jiwa dan hasrat duniawiku Padamu, wahai keindahan Gerak langkahmu pengobat rindu Bagaimana lagi aku harus memujimu Bahkan diamku seolah menghinaku Ketidakberdayaan mulutku dihadapmu Adalah rintihan menyayat hati Kegelisahan kini mengelilingi malam tanpa melihat wajahmu

Hutan

Jika dingin adalah angin Malam hari tak akan semenakutkan ini Langkahku deru rindu Kau, senandung perjalananku Dikoyak-koyak hutan timur Terburu-buru dikejar senja Derita waktu tanpa teman Suara hewan kerdil memekik telinga Namun takutku tak hilang jua

Cinta Mengganggu

Waktunya beranjak Mata pemikat yang berbahaya Bibir manis yang menawan Dari cinta yang membara Tidak akan ada lagi Dimana setiap hari kita bertemu Dimana aku duduk mendengarmu Memperhatikan tingkah lakumu Memegangmu seperti dulu Cinta begitu mengganggu

MUZ VII

Seharian penuh aku menunggu Hanya untuk melihatmu Bukankah itu sangat keterlaluan Dan kau hanya mengucap salam Tersenyum pergi di telan malam Kekasih, Kelak tak ada satu hari pun kubiarkan kau membuatku menunggu Nikmatilah Caramu mempermainkan perasaanku Aku terima dengan penuh cinta

MUZ VI

Cinta membuat sesuatu yang biasa Terlihat begitu istimewa Senyum seorang kekasih Akan melebihi sinar seorang dewi Suara dari mulutnya Adalah kabar buruk bagi lagu cinta Parasnya yang agung melebihi pesona dunia Kasihku, hati dan perasaanku Melekat erat bersamamu Bagaimana Allah menyelamatkan seorang kekasih yang dilanda asmara

MUZ V

Pertama kalinya Aku melihat keikhlasan senyummu untukku Kau pemarah, aku bisa bilang apa Caramu menaklukan hati Aku terkesan dengan bakatmu itu Tanganmu adalah lambaian surga Menarik ikatan penuh cinta Caramu menyembunyikan perasaan Aku sangat menyukainya

Minggu

Sederhana Di hari minggu Apakah anak-anak sekarang masih menggantung jemuran sepatunya? Karena hujan turun Masihkah mereka merasakan nikmatnya memakai sepatu yang belum kering itu? Masihkah

Perempuan dan laki-laki

Dia mengajarkan satu hal penting padaku Hingga kini, sepanjang umurku Aku tidak bisa mempercayai siapapun Bahkan sekedar untuk teman bicara Aku menyakini perempuan memandang sesuatu dengan hati Tapi aku tidak sepaham Ada kalanya hati sering mempermainkan Aku juga menyadari laki-laki selalu hidup taktis Selalu mengajukan pikiran sebagai dasar logika Tapi aku tidak menyetujui itu Karena itu aku menyetujuimu Perempuan dan laki-laki harus saling peduli

MUZ IV

Aneh, Malam ini kau nampak begitu bersahabat denganku Bahkan bulan tidak akan percaya Jika ku ceritakan tentang perhatianmu padaku Dia pasti akan menertawaiku Aneh, Kau seperti ingin memberiku hadiah Apakah itu madu yang manis? Atau racun kemarahanmu? Siapa yang bisa menyelamatkanku dirimu Hanya Allah yang tahu

MUZ I

Aneh, Wajah sederhana itu begitu menganggu Keangkuhannya membuatku bahagia Ketegasannya dalam bicara membuatnya terlihat sangat berbakat Aneh, Memperhatikannya menjadi begitu menyenangkan Berdebat dengannya jadi hal yang kutunggu-tunggu Melihat senyumnya, seperti hadiah yang begitu berharga Aneh, perasaanku menjadi aneh

MUZ III

Sekian lama Keindahan itu tampak di depan mata Aku mendengar Suara nyanyian hati Redup pandanganku Ketidaksabaranku Untuk melihatmu Isyaratkan diriku kini terbelenggu Jinggaku, Warna-warni duniaku Aroma kedatanganmu Mengusik jiwaku Caramu memalingkan wajah dihadapanku Adalah cinta yang menggelora dalam sukmaku

MUZ II

Aku bingung Pelan-pelan keraguan itu datang Menertawakan hati yang bimbang Aku terjaga Kebahagian dengan menggodamu Rasanya begitu membekas di hatiku Marahmu, raut kesalmu, caramu memperlakukanku Entah itu madu yang rasa manisnya tak terhitung bagiku Kebahagian dengan menggodamu Rasanya lebih menyenangkan dari 1000 kemenangan

Milikku

Keramaian itu menyesakkan Aku harus bersabar Manjamu begitu terlalu Meski kadang ku rindu Inginmu kuat layaknya pesonamu Hutan itu juga tahu Lalu menunduk dihadapmu Dua tas dalam gendonganku Pelipur lara senyummu Kabar buruk bulan dan bintang tak berdaya dihadapmu Lalu bagaimana dengan aku? Kau ada digenggamku

Milikku

Keramaian itu menyesakkan Aku harus bersabar Manjamu begitu terlalu Meski kadang ku rindu Inginmu kuat layaknya pesonamu Hutan itu juga tahu Lalu menunduk dihadapmu Dua tas dalam gendonganku Pelipur lara senyummu Kabar buruk bulan dan bintang tak berdaya dihadapmu Lalu bagaimana dengan aku? Kau ada digenggamku

Pemain

Bermain tak semudah itu Kadang aku bertanya, haruskah jiwa taruhannya? Di hari pecinta dan penderita bersua Satu diantaranya terlena Lupa, pecinta selalu membawa duka bagi satunya Bersiaplah, para pemain

Baginda Suleiman

Puisi Romantis Baginda Suleiman Kepada Hurrem Oh..selirku dan cintaku kecantikanmu ini adalah kabar buruk bagi dunia betapa cantiknya wajah yang kau miliki ini aku kadang bertanya-tanya apakah rambutmu begitu harum ? apakah itu berasal dari surga ? rambut yang indah.. pikiranku dipenuhi dengan harumnya rambutmu sungguh harum.. aroma apa ini ? betapa indahnya.. air mataku mengalir dan keluar dari mataku laut apa sungai apa muara apa ini ? dan akupun jadi gila sungguh luar biasa cinta apa ini kemarahan apa ini aku tidak mengerti sayangku rembulanku.. sahabatku Putriku yang cantik .. hidupku kehidupanku.. anggurku surgaku.. musim semiku.. kebahagiaanku.. sayangku.. mawarku.. pohon oak ku.. pemandanganku.. rumahku.. hurrem ku.. kebahagiaanku.. kesenanganku.. dewanku.. matahariku.. lilinku.. jerukku.. bulanku.. jerukku.. penutup ranjangku.. si pintarku.. tuanku.. rahasiaku.. puteriku.. kaisarku emiratku sayangku dalam dunia kekaisaran..

Tanam I

Hari ini ku tanam Berbagai pepohonan Dari sana aku melihat burung-burung beterbangan Ku dirikan rumah baginya Sebuah pohon mangga Agar anak-anakku dan cucu-cucuku tahu Sangkar bukanlah rumah burung

Niat

Jangan berniat melakukan kekhilafan Itu penghianatan Dan tidak mungkin dimaafkan tanpa kesengajaan Entah dengan cara mengabaikan Atau bahkan dengan melupakan

Doa

Rabbku, penguasa hidupku, kasihanilah aku. Buatlah aku mapan dunia dan akhiratku. Bantulah aku mengabulkan segala permintaan kecintaanku orang tuaku. Buatlah aku menjadi penjaga hati dari derita derita mereka. Dan buatlah aku pelindung dan pelipur dari setiap lara yang mengancam mereka. RestuMu untukku hidupku mencari ridhoMu

Penolong

Allah lah yang akan menolong Dia yang menciptakan matahari Menumbuhkan bunga warna warni Lalu ditiupkan keharuman Ketakutan hanyalah akan membuat Allah marah Banyak yang tidak sabar Goyah dan berputus harapan Lalu mencari pertolongan selain Dia Sedia melakukan hal curang demi duniawi

Markas Pendaki

Tak sengaja pertemuan terulang Saat aku menggandeng seseorang Tepat depan matamu Seakan-akan kita tak saling tahu Tersenyum, layaknya orang asing Bahkan menjabat tangan Usai depan pintu, kita bertemu Berdua, awalnya enggan bicara Getaran itu masih terasa Meski lama tak bersua

Jodohku I

Aku masih ingin menyelesaikan pertemuan Deretan orang asing yang namanya belum aku ketahui Entah bagaimana sifatnya Apakah sebuah keharusan untuk duduk diam Menanti suami datang dari pekerjaan Lalu keesokannya itu selalu berulang Terus dan terus sampai kita menua Bisakah kita berdua jalani hidup dengan petualangan Berdua dipenuhi cinta Melangkah melihat betapa luasnya dunia Tanpa takut kelaparan dan kemiskinan

Muhibbin II

Ya Muhibbin, Aku di jalan kota malam itu Dimana dingin menghinggapi Sepi yang begitu indah Karena bersamanya Meski manja itu ada Meski sejuta yang memujanya Dan tak sedikit yang memperebutkannya Tapi kini dia bersamaku Orang asing dijalan semu Jadikan dia milikku atau Akhiri hidupku

Muhibbin I

Ya Muhibbin, Aromanya tercium dimana-mana Tak satupun pandangan lepas dari wajahnya Suaranya memanggil-manggil jiwa Berlari hampir lepas dari raga Inikah cinta yang dibanggakan para pujangga? Ya Rabbku

Surabaya-Wamena

Hari itu gerimis, Aku sadar seorang balita tersenyum menyapa Aku duduk di jok mobil lepas Tepat disampingku sungai deras Ditumbuhi pohon2 besar disepanjangnya Dia berdiri lalu mengajakku keliling Katanya alun-alun Wamena Tapi lebih mirip Surabaya Letaknya tak jauh dari tempatku bersandar Motor rx king bersuara bising Bertiga ringroad di jalan panjang Pemandangan kosong, aspal pinggir tanah lapang Dia tunjukkan jalan pulang Pikirku jauh sangat dari rumahku Dijalan yang aku ketahui, Preman dan para beruk berpesta Duit penggelembungan proyek Hasil colongan dan manipulasi pendanaan Sedang di persawahan itu Aku lihat gunung tinggi digagahi begitu saja Gedung pencakar langit hanya setinggi manusia Begitu kerdil tak berarti Dijalan pulang,

Surabaya-Wamena

Hari itu gerimis, Aku sadar seorang balita tersenyum menyapa Aku duduk di jok mobil lepas Tepat disampingku sungai deras Ditumbuhi pohon2 besar disepanjangnya Dia berdiri lalu mengajakku keliling Katanya alun-alun Wamena Tapi lebih mirip Surabaya Letaknya tak jauh dari tempatku bersandar Motor rx king bersuara bising Bertiga ringroad di jalan panjang Pemandangan kosong, aspal pinggir tanah lapang Dia tunjukkan jalan pulang Pikirku jauh sangat dari rumahku Dijalan yang aku ketahui, Preman dan para beruk berpesta Duit penggelembungan proyek Hasil colongan dan manipulasi pendanaan Sedang di persawahan itu Aku lihat gunung tinggi digagahi begitu saja Gedung pencakar langit hanya setinggi manusia Begitu kerdil tak berarti Dijalan pulang,

Menghadap Mukamu

Setidaknya aku menghadap mukamu sebagai seorang pemberani. Mengangkat kepala dan berbicara. Mengkritik dan mengeluarkan pemikiranku. Melihat wajahmu tanpa ketakutan secuilpun. Tidak mengandalkan kekuasaan dan jabatan sepertimu. Layaknya pecundang untuk membungkamku. Menghimpitku lewat kolegamu karena kau takut padaku. Tak berani menjelaskan perilakumu. Merasa berkuasa lalu menikam suara dan pemikiranku.

Melukai idealisku

"terserah mereka, mau uang itu mereka bagi2, mau dibuat makan2 atau bancakan itu terserah mereka bukan urusan kita" kata2 itu sangat melukai idealisku. Itu salah dan aku tahu. Dibungkam biar dapat uang makan. Biar gaji tetap jalan. Duduk dan kerja, seakan kebodohan merasuki jiwa. Sejak kapan aku dungu begitu. Berontak, lalu aku dipecat.

Puisi jurnalisme

Aku ditertawakan syair dan puisi Katanya percuma jurnalisme diperbaiki Hatinya sudah mati Induknya berupa materi Sedang kita cinta dan kasih Tak ada yang tersisa kecuali basa basi demi kepentingan Kita dihina, Syair dan puisi disebut tak berguna Sedang mereka terkekang Penuh rundingan dan mengemis Menutup alasan, menutup ketakutan

Kata-kata

Jika dulu aku bisa kirimkan surat untukmu Lewat lembaran kertas kuungkap rasa rindu Suara-suara haru yang mengganggu Kini kemana ku antarkan surat itu? Hilangmu seperti mencekik leherku Nafas tak lagi menentu Tak ada yang tersisa kecuali luka Kata-kata menghambur, hancur Sisa rindu mengejar bayangmu

Jangan lupakan mereka

Jangan lupakan, Kita pernah jalan sendirian Dikejar-kejar deru angin malam Hampir dimakan kegelapan Dihadang terjalnya bebatuan Ditertawakan penghuni hutan Jangan lupakan mereka, Setelah jumpa kawan lainnya, Mereka yang setia pada jiwa dan raga Saat tak seorang pun memperhatikannya

Romansa

Sudah lama kita tak bersua Banyak perbedaan sulit disamakan Sejak dulu, sekarang pula Tapi biarlah begitu adanya Asal kita masih punya alasan bersama Orang bilang itu cinta Keistimewaan para pujangga Mempersilatkan bahasa Biar sampai di hati kita berdua Tak payah berkata-kata Cukup arahkan pandangan mata Itu rahasia pemikat jiwa

Hasrat

Ketika seseorang memiliki hasrat pada sesuatu Dan tidak mendapatkannya Seumur hidup dia akan mengejar kegilaan itu Perlu kau ketahui, Di sini ada satu orang gila Yang sedang melakukan itu

Tawa Hamba

Pernah, kebebasan itu Angkara muda di atas segala Kini batas menertawaiku Waktu selalu mempersulitku Tekanan saut menyaut mengejekku Saling bergumam bertanya, Sejak kapan aku mulai dungu? Hamba sedang melamun terduduk Menyendiri dipojok Angin itu menawarkan rasa Yuk, kita siapkan pemberontakan Biar tahu kebebasan itu mutlak Akan selalu jadi milikku

Kau Buta

Aku libur, Bukan sembarang tidur, Aku meringkuk di kamar seharian, Rayap dikepalaku minta makan, Tak ijinkan aku berjalan, Sekedar intip dunia luar, Mataku kunang-kunang, Sebagian gelap remang-remang, Dan kau marah karena aku tak datang? Kau pasti buta, sayang'

Kau Buta

Aku libur, Bukan sembarang tidur, Aku meringkuk di kamar seharian, Rayap dikepalaku minta makan, Tak ijinkan aku berjalan, Sekedar intip dunia luar, Mataku kunang-kunang, Sebagian gelap remang-remang, Dan kau marah karena aku tak datang? Kau pasti buta, sayang'

Piknik I

Barangkali mereka mumet Pikiran kemana-mana, mungkin kesambet Ditumpuk duit berbukit-bukit Negeriku sedang sakit Dikepung berbagai penyakit Suara rakyat tak bertaring lagi Kesana-kemari duit unjuk gigi Jangankan hukum negeri Harga diri saja mampu dibeli Malu, Mungkin pemerintah sedang kurang piknik Pelesiran habiskan duit

Kalkulasi Hati

Ada proses materialisasi cinta dan kalkulasi hati. Jika perlu dipakai rumus: masa kecil bahagia, remaja dimanja, dewasa kaya-raya, tua sejahtera dan mati masuk surga. Ideal kan? Apa itu juga tolak ukur bahagia? Semua absurd Tapi banyak yang mengambil jalan pintas, ukuran minimal kebahagian adalah jaminan hidup mapan, jaminan materi Bahkan dia orang yang lugu, jujur, dan memiliki hati yang tulus, namun ketika sentuhan 'dunia luar' mulai meninabobokan dirinya, ia jengah, gamang, tidak sabar dalam proses penyesuaian diri. Lalu mendadak jadi budak duniawi.

Rindu mengembara

Aku seperti sedang merindukanmu Suara angin malam Susah payah bersautan Dingin yang mengacaukan pikiran Alam yang mengejek kesendirian Tas yang ku gendong, beratnya Suaramu syahdu alunan cinta Raut wajahmu, lelahnya Namun senyummu, merdu Menghiasi kedua mata Peganglah tanganku Biar rindu mengembara Mencari jiwa pecinta

Lari

Aku kalah, Kasih sayang itu Aku tidak bisa menahannya Jarak jadi jawaban Tempat berlarinya kegundahan Dari ketakutan pada diri Pada asmara yang membakar jiwa Wajahmu yang enggan terlupa Mengusik dunia

Lari

Aku kalah, Kasih sayang itu Aku tidak bisa menahannya Jarak jadi jawaban Tempat berlarinya kegundahan Dari ketakutan pada diri Pada asmara yang membakar jiwa Wajahmu yang enggan terlupa Mengusik dunia

Berharga

Lapar itu pertanda kemarahan Tapi aku tak begitu Kadang kau mengambil terlalu Dan bilang aku yang keliru Padahal di sana tempatnya rindu Hati dan raga saling beradu Mata yang selalu sendu Kau itu penyejuk jiwaku Dalam, tak terabai oleh waktu Biar kuturunkan nada suaraku Ku tundukkan kepalaku Ku akui kesalahan untukmu Kau lebih berharga dari semua itu

Kau itu milikku

Aku memperhatikanmu Saat hujan dan kemaraunya bumi Saat bintang dan bulan beradu Saat raga dan jiwa hendak menyatu Ku dengar lagu merdu Wajahmu itu berseri Membuat dunia iri Singkirkan payung itu Biar orang tahu Kau itu milikku

Aku Membaca

Idealis itu tinggi Sungkan menerima Menuntut logika Diri jadi segalanya Tidak akan menurut Pada siapapun Apalagi takut Itu omong kosong Tinggalkan basa basi Tinggal pergi Biar tahu Hanya aku patokan

Sajak salju

Pagi itu aku melihat, Pegunungan salju memikat Diantara pematang sawah Kuningnya padi siap panen Deru angin penuh kasih Satu puncak begitu indah Aku bermain salju di sana Pengagum rahasia sembunyi-sembunyi Lalu pelan-pelan menghampiri Bersanding tak mengerti Mengapa malam begitu mendustai?

Sajak Duka

Ku sesalkan hujan pagi itu Dinginnya hembusan angin Dan berisiknya suara hati Ketidakberanian menyebut namamu Adalah dusta penyayat hati Perasaan penuh rintihan Tak sempat kuucapkan Jiwa yang menghilang Duka yang datang Ku sesalkan hujan pagi itu Membawamu pergi dariku

Sajak sore

Hujan, kenapa begitu menyudutkan Temeramnya hati dan perasaan Kerinduan itu menyesatkan Dahsyatnya insomnia menyiksa Dekat aroma kehadiranmu Tak cukup dapat menyatu Adalah ragu dan haru

Pemikat Senja

Mengapa kau menggoda? Tersenyum mengajakku berlari Menarikku dalam lingkaranmu Dia pemikat raga Dia penenang jiwa Dia perindu mata Dia aroma wangi surga Dia segalanya Menawarkan cinta Menyatakan setia Diambang batas kebencian manusia Pada kita

Deru malam minggu

Selamat malam, Bagi yang memikirkan seseorang Wajah yang selalu terbayang-bayang Bagi yang menimbun rindu dalam hujan Tumpahkan, jika tak mau tenggelam Bagi yang hatinya teriak sayang-sayang Kirim pesan agar kasihmu tersampaikan Bagi yang memendam cinta dalam kegelapan Ucapkan, jika tak mau derita datang arum_pakar

Sahabat

Sahabatku, dengarlah perkataanku Jika kita diberi kesempatan untuk bertemu Akan aku ceritakan sesuatu Caraku melewati hari-hari tanpamu Mengarungi malam penuh haru Dikelilingi kesepian yang membelenggu Menyusuri jalanan bersama lukaku Tanpamu, tak lebih berarti hidupku

Kedunguan

Aku menganggapmu orang yang tak pandai menghina Kau bisa katakan: dengan gaya sinis , "lebih baik kau jalan-jalan saja dalam mimpi tak perlu bangun toh tak ada yang bisa kau lakukan" Atau dengan gaya pendengki, "alangkah rendahnya kesadaranmu, tidurmu lebih berguna dari bangunmu" Atau gaya puitis, "duhai, burung-burung akan kabur ketika melihatmu di pagi hari" Semua itu tidak kau katakan padaku Tapi, kau hanya mengulang-ngulang saja Karena kedunguan mengelilingimu

Kriminal

Aku keliling Kudus hari ini Lampu kuning traffic light aku berhenti Dari belakang motor nyerobot Ngebut sambil memaki Belum lagi aku pakai helm, jaket, sepatu, masker, sarung tangan Dipikirnya aku astronot tersesat Ironi atau aku yang sedang tidak sehat Di negeriku hal benar jadi aneh dipandang Hal salah diikuti terasa sedapnya Bahkan yang intelek berbaris jadi pemuja Asal hangat diselimuti uang Sedang yang benar yang jadi kriminal Namun itu pertanda para pemberontak telah datang

Negeri Kamuflase

Aku masih hidup Di negeri yang penuh kamuflase Berbondong-bondong menutup jati diri Di mana orang suka pura-pura Ketakutan pada dirinya sendiri Aku, kau akan mengerti Di sini kebaikan seakan-akan aib bagi diri Keyakinan, orang enggan mengakui Kebangsaan menutup mata dan hati Munafikkan akidah demi gengsi Lupa diri ini akan mati Di kubur dengan iman di hati Bukan semata-mata kebangsaan yang dijunjung tinggi

Sekotak Kuburan

Negeriku serba mendadak Sebab kalimat kotor Masa pemilihan jadi ajang lempar kotoran Sayang adiknya yang jadi pesakitan Semua mendadak dilaporkan Mendadak tersangkut paut Mendadak suap menyuap Mendadak borok diungkap Mendadak semua gelagapan Mendadak keburukan beranak Mendadak kuasa dipergunakan Penting urusan kelar Negeri ini sudah di ambang kehancuran Tinggal siapkan saja sekotak kuburan

Ambang Batas

Ku tulis di selembar kertas Ku renungkan bahasanya yang tegas Ku diperintah menyerumu begitu keras Biar dengar gaungnya tidak terbatas Biar keadilan dipertimbangkan Biar suara rakyat dilantangkan Negeri sedang butuh bantuan Dikoyak-koyak penghianat bayaran Di atas nama kebebasan Keyakinan diperjualbelikan Nemplok seperti cacing kepanasan Negeri di ambang batas kehancuran Dan pemerintahan sibuk menambah hutang

Lagu Tengah Malam

Dipojok kamar, kusender Tak diam sedikitpun Pikiranku penuh pertimbangan Lapar bukan lagi masalah besar Disaat negeriku tak sadar Semaput terasa hambar Jujur dibegal, kebohongan ditebar Orang baik ditampar Orang jahat ditimang Kebenaran dianggap makar Kebohongan dibuat samar Hanya bisa bilang, Duh dik, penguasa sekarang kok kurangajar

Tragedi Takdir

Tuhan membuat pilihan Mengapa kita dipertemukan Takdir memulai angan-angan Di jiwa ini cinta mulai datang Di awal perselisihan Di saat ragunya pertemanan Sikap bingung penuh keheranan Di kala manja diperlihatkan Di masa nafas memburu haru Mengejar kasih sayang Karib usai pertengkaran Rasanya tak mampu melepaskan Sekalipun tak mungkin mendekapnya Maka ingatlah Akan datang masa kita tak mungkin bisa dipisahkan

Negeri Demam

Renungan tengah malam Depan masjid unnes sekaran Aku makan gorengan lima ratusan Kopi kini dua ribuan Tanpa cabe kok rasanya awur-awuran Pedagangnya cuma senyum Di saat yang katanya cabe-cabe an dijual murahan Harga cabe seperti roket mainan Mahalnya gak ketulungan Pemerintah sedang hilang akal Rakyat disuruh tanam sendiri Dikira tanam langsung panen hari ini Ya, balada negeri lagi demam Susah dikendalikan

Gerilya Syair

Syair tak melulu soal cinta Kadang perlu juga lihat dunia Sekali-kali bergerilya Jadi pemberontak saja Mengungkap kebenaran realita Banyak yang coba-coba memelintirnya Demi duit dan kuasa Dua-duanya memang enak rasanya Kita ini anak muda Jangan mau diperdaya media Buat mereka ketakutan pada kita Kita ini bukan lagi pena dan kertas Bangun, kita ini penguasa dunia maya Kita ini masa depan nusantara

Preman Desa

Lho aku tidak mungkin melupakan Tiap malam seperti banyak setan Kumpul-kumpul keluyuran Siap mengancam Demi sesuap makan Dan balas budi perbudakan Di desa banyak preman Gayanya sok jantan Minum-minum tiap malam Penting kan selalu ngantongi ratusan Dari bos besar para pecundang Bahasanya penuh kebinatangan Bahagianya ketika bisa menang Padahal itu rendahan Tapi itu cocok kalian banggakan

Ragunan

Dewasa ini maunya Tapi kekerdilan munculnya Bahasanya kebinatangan Modalnya caci makian Marahnya jadi andalan Pendukungnya para preman Gayanya sok intelek Ambisinya mau jadi pimpinan Bisa tersinggung semua penghuni ragunan

Urus

Maklum ada yang gagal fokus Lagi banyak kasus Semua minta diurus Biar kelihatan serius Kan ada yg ngutus Sekalipun buat panjang usus Ya, agak mlintir-mlintir yang lurus Pura-pura pakai cara halus Diam-diam sebar virus Kuasa dijadikan jurus Pokoknya menang itu harus Gengsi, kan memang yang ngurus Yang penting kan kantong gak kurus Transfer tetep jalan terus

Nganu

Serba nganu Presiden lagi nganu Menteri lagi nganu Parpol lagi nganu Polri lagi nganu Pejabat lagi nganu Rakyat kena anu Mau nganu Disangka nganu Dilaporkan nganu Ditahan nganu Dibebaskannya nganu Negeriku lagi nganu Nganu pokoknya nganu

Ruas Kecebong

Lihat celanaku, Kotor dan basah Kecebur got? Kagak Aku hampir nyungsep ke aspal Untung banjir sepanjang jalan Ruas ini antara demak dan semarang Benar-benar asem kan Empat tahun lalu ini tempatku ngebut Kini, kubangan kecebong nampaknya Motor mogok, turun Tas yang ku gendong segede kulkas Naik gunung turun langsung ke air Beratnya jangan ditanya Asal tak seberat beban negeriku saja

Wawancara

Hari ini wawancara Mandi berangkat pagi Gosok gigi biar wangi Tidak lupa celana kulot kemeja rapi Motor bebek keluaran 2007 siap diajak lari Aku nunggu di paling pojok Mplonga mplongo, lainnya bawa teman Lamaran dan cv aku keluarkan Tiga jam berlalu, aku masih nunggu Pukul 12.30 tiba giliranku Di stop depan pintu masuk "waktunya istirahat!"

Pungut

Negeri serba pungut Pintu masuk dipungut Pintu dua dipungut Pintu tiga dipungut Pintu empat dipungut Pintu lima dipungut Pintu enam dipungut Pintu tujuh dipungut Pintu keluar dipungut Pungut dipungut berpungut-pungut

Situasi

Aku menganggap kasih sayangmu seakan2 tergantung situasi Aku ini dihina saban hari Gara-gara nganggur tak punya uang Luka ke sana ke mari cari kerjaan Tak ada yang peduli Bodohnya aku tidak diterima di mana-mana Tanpa duit sogok memuluskan untuk duduk dijabatan Perlu ku gadaikan rasa hormatku pada Tuhan Kelar, ini bukan pilihan

Susahnya Sarjana

Tiap pagi aku nongkrong di depan rumah Saban hari luntang lantung Nunggu telfon berdering Penggilan kerja tak kunjung datang Keburu aku dihina tetanggaku Keburu aku dikunjing seantero desa Sarjana mata sapi, kerja kagak Saban hari menenangkan hati yang remuk Tidak tahu susahnya sarjana kini Sudah, hindari memberi penjelasan kepada orang yang tak jelas Dapat kerjaan kagak, gila iya

Komplotan Dungu

Adikku tidur dikamar Pipinya mendur-mendur Umurnya baru 7 bulan Beberapa kali bergumam tak jelas Usai satu tahun yang lalu Bapaknya dihantam pengkhianatan para tetangga Dipermalukan saudara-saudaranya Iri dengki pada bapaknya Kalah lewat kecurangan preman-preman desa Suruhan anggota dewan menjegal jalan Fitnah ditebar, kedunguan meliputi desa Tak jadi, kini pun tak apa-apa Biar saja desa ini dirampok komplotan tak berguna

Nyengir

Hampir setahun, aku ingat Berjibaku di tengah lapangan Dikoyak-koyak panas Penuh lumpur sisa hujan semalam Sepanjang hari menarik hati orang Senyum jangan nyengir Dihitung per satu-satu Kalah, saudaraku dikoyak-koyak tetangga mata duitan Saudaraku ditikam saudara sendiri Sakit hati, iri, dengki, berpenyakitan Sial

Teman Biasa

Teman dekat akan membawa luka Ketika tidak lagi bisa bersama-sama Maka cukuplah jadi teman biasa Cukup sekedarnya menumpahkan rasa Beda yang perlu dijaga Jarak harus memiliki ukuran Akan berakhir pada masanya Perkawanan hanya akan jadi penanda pernah berkenalan Bukan janji untuk setia mengingat, kan?

Deras

Deras mengeluhkan penciptaaan Sukar dipahami tanpa hati Rabbi berpesan penuh kasih sayang Antara iman dan cinta Menaungi jiwa manusia Adalah gundah jarak yang beda Bersabarlah, Seberapapun jauhnya langit dan bumi Akan ada hujan yang selalu menyatukan

Kerja Tipu

Suatu hari, Aku pernah menjajakan investasi bodong penuh menjanjikan Pasti ruginya tak pasti untungnya Aku pernah menawarkan kredit pinjaman berbunga Ku hasut lewat telfon biar menerima Biar kelak jika tak kuat bayar, hartanya bisa pindah ke kantorku Aku juga pernah menjual alat-alat kesehatan dengan senyuman Mahalnya iya tapi tak jelas asal usulnya Aku mencobanya Tapi aku tak lulus uji coba Itu menunjukkan bodohnya aku, Atau tuhan sedang mencoba menyelamatkanku Atau dari kedua hal itu

Pohon Hidup

Marah saja tak cukup Mati, tiduran di atas tanah Meninggalkan tempat muasal Lalu masuk pabrik bising pengusaha murahan Dijual tak beraturan agar cepat kaya Kala itu hutan-hutan berubah jadi suram Tingkahnya seperti hendak menelan manusia mentah-mentah Lalu ditanam tempat lapang Biar saja takut pada pemburu Teriris batin ku tanam pohon Lekaslah besar, jadilah rumah bagi burung-burung indah beserta kekasih Dan tempat bernaung keluarga Bahagiaku ada di sana

Kasur

Ku baca, biar tahu itu apa Tapi percuma, itu cuma sajak manja Biar saja cinta menggelora Biar saja ketakutan memenuhi angkara Di tempat tembok2 membisu Tidurku penuh mimpi tentangmu Kasurku seperti musuh yang mematikanku

Suara Sumbang

Di hutan, nyanyian suara sumbang Lariku dari kegundahan Dua merpati terbang Mengisahkan derita dari petualang Cinta dan keindahan tak bersua Mengikuti kemanapun arah tujuannya Gelap redam hutan tak bernyawa Diam, resah kita berdua Ketakutan pada ramainya dunia Merampas bahagia cinta muda Kisahnya tak pernah usai Di tempat purnama menjanjikan Duduk berdua saling menguatkan Memilih menghilang dari ketakutan

Matematika Mematikan

Aku lupa, itu matematika Kembalinya x dan y Beserta angka2 penuh kerisauan Waktu begitu cepat berlarian Kelas mendadak jadi suram mencekam Aku mahir soal itu Lupa, aku tak menyikat buku Hilang usai aku ketiduran Tap, tap, tap, mengawasiku penuh kecemasan Kiri kanan tak ada bantuan Kelar, hidupku kini tinggal sebiji angka mematikan

Lebur

Aku memilih jalan diam Cinta aku tak berani pandang Tak seperti berjuang melawan para jendral Lebih menakutkan dirimu Milik orang yang ku panggil2 sayang Beruntun nuraniku lebur Biar ku terima keputusan sang pencipta Biar tahu rasa getir ketidakjodohnya kita Biar mengerti betapa ngerinya cinta Pisahnya jiwa dari raga kekasihnya

Jendral Otak Hansip

Para jendral mulai marah-marah Kuasa jadi arogansi keangkuhan Mulutnya penuh dengan ancaman Hendak menangkapi para pejuang Di ujung jalan, ksatria panji datang Suara takbir penuh keberanian Angkat kepala demi kebenaran Pagar betis penghadang tak dihiraukan Ketika aduan dicampakkan Ketika keberpihakan tak sepadan Ketika intimidasi datang Dan ketika kesalahan di ada-adakan Hari itu kita mulai pemberontakan

Mantel Putih

Menundukkan ku tak semudah itu Rupawan aku tak melihat sebelumnya Pedulimu, hasratmu, adalah mahal di mataku Tempat penuh kedinginan Diantara bilik2 pesakitan nan ramai tempat itu Resahmu meninggalkanku di sini Ketakutan pada perasaan selalu menakuti Tak kau buka mataku untuk melepasmu Antara gedung tinggi, bermantel putih kau berlari Tak bisa mengakhiri cerita ini

Sepeda Sayang

Aku berlari penuh kegilaan Diantara gang sempit pedesaan Ku kayuh penuh tenagaku Riuh suara rantai sepeda melagu Sanksi, dapatkah aku mengejarmu Menjajarkan hatiku dengan dirimu Kau dan aku mencari jalan keluar Dekat persimpangan rindu yang menggelora Gang sempit tempat kita berselisih Namun, kita masih tetap berdua

Aliran Kita

Jarak kita sedekat lebar penghubung sungai Namun, alangkah buruknya kita Rasanya jarak kita ini sejauh jarak pertemuan ujung2 sungai Kau dan aku dalam satu aliran Mengarungi sungai panjang ini berdua Tanpa pernah bersua, sekalipun hasrat untuk berdua itu ada Tapi satu keinginan itu bisa menenggelamkan kita Selamanya                                            17 jan 17

Gemerlap Recehan Petinggi Negeri

Pagi itu kerumunan orang saling berhadapan Sikapnya manis, dibagi itu bungkusan bagi pesebrang Matahari memanas berimbas membuat pesebrang beringas Badan tegap muka sangar Hitam muram penuh amarah Toh pantas saja kemaki, dibelakang ada bebek peking berseragam Kini yang berbagi hendak dihabisi Sebab jadi pendukung dari yang dicedari Adalah ironi sebuah negeri Recehan selalu jadi saksi cuci tangan para petinggi negeri Demi melibas pengkritik yang tidak mereka sukai

Doa

Ya Allah, Engkau mendengar duka-cita serta keluh-kesahku Anugerahi aku Rahmat-Mu, dan ampuni dosa-dosaku Berkahi malam-malam dan hari-hariku Penuhi hatiku dengan keimanan Teguhkan diriku pada agama ini Serta maafkan aku dan seluruh kaum muslimin Sami Yusuf

Seni

Kemana para musisi pengkritik pemerintah di masa lalu Penguasa berilah hambamu uang Aib bagi pekerja seni pembelot rakyat Pembela kesombongan petinggi pemerintah Persetan dengan para sastrawan penyanjung cinta Tiada guna syair persoalan cinta Jika enggan menyuarakan keluh kesah rakyat Asemnya lagi para pelakon televisi Pura-pura sampai lupa derita rakyat Yang penting tangki mobilnya penuh dengan perutnya Popularitas tak tahu diri jika tak mampu berdiri dengan rakyat Seni itu untuk rakyat Bukan, Seni untuk partai Maka menulislah, menyanyilah, kejar popularitas untuk bela lah rakyat, bukan malah membela pemerintah Bukan malah ikut mengkritik masyarakat Dan mati2an membela pemerintahan

Reformasi II

Negeriku gerah, panas Aktivis berjuang sendiri, jumlahnya hitungan jari Susah payah berdiskusi, mau dibawa kemana negeri ini Penguasa enggan menanggapi Singgasananya hangat disambi ngopi Pagi hari sarapan ria rasa pinggiran agar dibilang merakyat Jumat fajar 2 Des 16 aktivis ditangkapi Gara2 dikira mau bubarkan pemerintah Padahal mereka tak lebih dari 10 orang, kan kurangajar Ditersangkakan oleh dukun Panglima besar saja tak mau ambil alih pemerintahan bodong ini

Pergerakan

Ntr gak bisa buat film lagi, baru nyesel Ntr gak bisa nulis lagi, baru nyesel Ntr gak bisa ngritik lagi, baru nyesel Ntr punya anak terus hilang nggak pulang2 karena mengkritik pemerintah, baru nyesel

Hoax

Hoax, Dimaknai sebagai berita yang tidak disukai rezim ini, bukan dimaknai sebagai berita bohong. Tidak perlu ditanya mengapa berita tidak disukai pastinya karena merugikannya. Karena berita bohong seharusnya diklarifikasi bukan ditangkapi.

Rezim

rezim ini cenderung menyebut hoax pada berita yang tidak disukai karena merugikannya sedang rezim ini tidak pernah menyebut hoax pada berita yang menguntungkannya Ketika jurnalisme di negeri ini kering kerontang hampir mati Ketika warga dibungkam tak boleh memberi kritik pemerintah Maka sastra enggan berdiam Suara adalah maut kemarahan Pada kebijakan busuk pemeras rakyat Kerja, kerja, kerja, nyata, nyata, nyata memeras rakyat Simbolis omong kosong

Jurstra

Ketika jurnalisme mulai dibungkam, Sastra jauh dari kata kekangan Jika jurnalisme bisa diatur Maka sastra tak punya batasan Kala jurnalisme dibilang hoax Sastra tak bisa disalahkan Saat jurnalisme dihadang Maka sastra tak punya sedikitpun halangan Sastra hidup dimana saja dan berjalan sesuai kemauannya.