Skip to main content

Posts

Showing posts from May, 2017

Surabaya-Wamena

Hari itu gerimis, Aku sadar seorang balita tersenyum menyapa Aku duduk di jok mobil lepas Tepat disampingku sungai deras Ditumbuhi pohon2 besar disepanjangnya Dia berdiri lalu mengajakku keliling Katanya alun-alun Wamena Tapi lebih mirip Surabaya Letaknya tak jauh dari tempatku bersandar Motor rx king bersuara bising Bertiga ringroad di jalan panjang Pemandangan kosong, aspal pinggir tanah lapang Dia tunjukkan jalan pulang Pikirku jauh sangat dari rumahku Dijalan yang aku ketahui, Preman dan para beruk berpesta Duit penggelembungan proyek Hasil colongan dan manipulasi pendanaan Sedang di persawahan itu Aku lihat gunung tinggi digagahi begitu saja Gedung pencakar langit hanya setinggi manusia Begitu kerdil tak berarti Dijalan pulang,

Surabaya-Wamena

Hari itu gerimis, Aku sadar seorang balita tersenyum menyapa Aku duduk di jok mobil lepas Tepat disampingku sungai deras Ditumbuhi pohon2 besar disepanjangnya Dia berdiri lalu mengajakku keliling Katanya alun-alun Wamena Tapi lebih mirip Surabaya Letaknya tak jauh dari tempatku bersandar Motor rx king bersuara bising Bertiga ringroad di jalan panjang Pemandangan kosong, aspal pinggir tanah lapang Dia tunjukkan jalan pulang Pikirku jauh sangat dari rumahku Dijalan yang aku ketahui, Preman dan para beruk berpesta Duit penggelembungan proyek Hasil colongan dan manipulasi pendanaan Sedang di persawahan itu Aku lihat gunung tinggi digagahi begitu saja Gedung pencakar langit hanya setinggi manusia Begitu kerdil tak berarti Dijalan pulang,

Menghadap Mukamu

Setidaknya aku menghadap mukamu sebagai seorang pemberani. Mengangkat kepala dan berbicara. Mengkritik dan mengeluarkan pemikiranku. Melihat wajahmu tanpa ketakutan secuilpun. Tidak mengandalkan kekuasaan dan jabatan sepertimu. Layaknya pecundang untuk membungkamku. Menghimpitku lewat kolegamu karena kau takut padaku. Tak berani menjelaskan perilakumu. Merasa berkuasa lalu menikam suara dan pemikiranku.

Melukai idealisku

"terserah mereka, mau uang itu mereka bagi2, mau dibuat makan2 atau bancakan itu terserah mereka bukan urusan kita" kata2 itu sangat melukai idealisku. Itu salah dan aku tahu. Dibungkam biar dapat uang makan. Biar gaji tetap jalan. Duduk dan kerja, seakan kebodohan merasuki jiwa. Sejak kapan aku dungu begitu. Berontak, lalu aku dipecat.

Puisi jurnalisme

Aku ditertawakan syair dan puisi Katanya percuma jurnalisme diperbaiki Hatinya sudah mati Induknya berupa materi Sedang kita cinta dan kasih Tak ada yang tersisa kecuali basa basi demi kepentingan Kita dihina, Syair dan puisi disebut tak berguna Sedang mereka terkekang Penuh rundingan dan mengemis Menutup alasan, menutup ketakutan

Kata-kata

Jika dulu aku bisa kirimkan surat untukmu Lewat lembaran kertas kuungkap rasa rindu Suara-suara haru yang mengganggu Kini kemana ku antarkan surat itu? Hilangmu seperti mencekik leherku Nafas tak lagi menentu Tak ada yang tersisa kecuali luka Kata-kata menghambur, hancur Sisa rindu mengejar bayangmu