SABDA CINTA
Oleh: Arum Novitasari
Kudus, 28 Agustus 1991, hatiku mulai tenang, setiap kali aku bertemu dengannya. Adalah suatu kedamaian disetiap lelahku. Esuk ini aku bertemu dengannya. Hampir tiap minggu aku duduk berdua dengannya. Aku tak tahu, mungkin ia bosan setiap bertemu denganku seperti ini. Duduk-duduk di taman berbicara berdua. Wajahnya hari ini nampak kusam, terlalu banyak menyimpan gundah. Ku masih bergelayut membaca sebuah buku di sampingnya. Lantas berapa lama ia tertegun melihatku.
“kau kenapa seperti itu?” tanyaku
“kau merasa ada suatu hal yang kau lupa?” tanyanya balik padaku
Saat itu aku terdiam mencoba menyingat dan mencari tahu haal yang aku lupakan hari ini, hingga tak aku jumpai. Lantas ku melihatnya.
“maaf, aku tak tahu, ku pikir tak ada yang terlewatkan” kataku pelan padanya
“bukankah kemarin kau mengatakan akan menjawab pertanyaan yanag hendak aku dengar hari ini darimu?” katanya
Sejenak aku berfikir lagi. Aku mulai tersadar akan perkataan Satriyo padaku.
“kau pasti tahu apa jawabanku Yo” kataku lirih
“tentang hati kita, perasaan kita, entang cinta kita, kau tak peduli?”
“bukan maksudku begitu Yo, kau tentu tahu mengapa kau tak menyanggupi maksud hatimu, kita tak mungkin dapat berjalan lebih jauh?” kataku
“apa kau masih akan menuruti perkataan orang tuamu, untuk tak melanjutkan hubungan kita, kau tak sayang padaku?” tanya Satriyo
“soal sayang, kau tak seharusnya mempertanyakan hal itu padaku, kita bukan ABG yang hendak bermain-main dengan cinta, dan tentang orang tuaku memang itu satu-satunya hal yang tak dapat ku ingkari” ktaku kepadanya
“jadi kau hendak menyerah?”
Aku pun memandangnya, seolah ia tahu jaaban apa yang hendak aku beri padanya, ia berpaling meninggalkan aku di taman.
Aku tak akan menyalahkan soal cinta dan sayang ini. Aku tahu tentangnya, dan segala rasa sayangnya padaku. Aku tak sekejap saja dengannya, aku pun tak hendak main-main dengan hatainya. Ia pun tahu bagaimana aku, sebelum hubungan ini aku jalani dengannya. Esuk aku libur 3 hari, aku berniat menemui orang tua ku untuk membicarakan masalah ini. Entah jawaban apa yang keduanya berikan padaku, akan aku terima. Lantas ku sap air mataku ygn hendak menetes dan pergi meninggalkan tampat ini. Semalaman tak ku dengar kabar dari Satriyo. Ia mungkin marah padaku. Tapi aku fikir sudahlah, ia mungkin butuh waktu untuk masalah ini. Tepat pukul 9, ku sampai di rumahu. Dadaku ini mulai sesak benar. Ku cium kedua tangan orang tuaku, ayng menyambut kedatanganku dari Semarang. Kulihat mereka berbinar melihatku. Aku seolah tak sampai hati meminta kejelasan hubungan aku dan Satriyo. Ibu tersenyum melihatku. Meski tap minggu au pulang, tapi ia terlihat begitu merindukanku.
Seuasai makan malam ku beraranika diri membicarakan hal itu pada keduanya.
“ngapuntene pak, nyuwun pirsa” kataku
“ono opo dhok, kok koyoke rupamu gak kepenak ngono?” tanya Bapak
Ku beranikan lagi bicara dengan keduanya.
“ngaten pak, pripun jenengan setuju nopo mboten kalian mas Satriyo?”
“Satriyo? Kuwe iseh karo dewekke dhok?”
“nggih pak tasih, ngapuntene pak, pripun?”
Sejenak Bapakku terdiam, lantas ia pergi meninggalkan aku sendiri. “ inikah jawabannya?” ku sandarkan punggungku di tembok belakang aku terduduk.
“sing trimo dhok?” kata Ibuku.
Malam ini aku tak bisa tidur, panggilan Satriyo semalaman ini tak kujawab. Setiap sms nya pun tak ku balas. Ku hendak menagnis, tapi tertahan setiap kali ku ingat betapa usaha Ibu Bapakku dulu, demi menyekolahkan aku. Ya Allah apa ini yang mereka inginkan?.
Sudah seharian ini Bapak tak bicara padaku. Hatiku mulai sakit melihatnya. Aku tak tahan melihat riak wajahnya. Apa aku berdosa? Mungkin jawabku. Aku ini anak pertama, meski ku bukan satu-satunya, sempat ku dengar Bapakku mengatakan aku ini tumpuan mereka. Di hari tua tentunya aku yang akan menjaganya, aku yang akan merawat keduanya. Dulu ku pun pernah berjanji akan membuat keduanya bahagia, bangga, dan menjadi tempat sandaran di kala mereka tua. Aku termenung memahami sikap apa yang harus aku tunjukkan. Satriyo pemuda yang baik, ia pun mencinatai aku. Meski ia telah mengatur dan mempersiapkan masa depan aku dan dia, aku belum memberi jawaban pasti padanya. Tiba-tiba kulihat bapak duduk di sampingku.
“dhok, jo sekali-kali kuwe lali omonganku biyen, Satriyo iku dudu jodohmu! Kuwe wez dikarepno wong liya” katanya padaku
Ku hanya diam.
“kuwe ngerti opo sing bakal ko tanggung yen nikah karo Satriyo? Deweke beda karo kuwe, sopo ae cah wadon muslim kang nikah karo pemuda non muslim ora bakal entuk ridhane Allah SWT, ora sah nikahmu!”
Ku dengar perkataan bapakku dengan jelas, barang tentu itu telah memperjelas jawaban bapakku kemarin. Sabda yang telah terucap harus dipenuhi. Aku tahu bapakku bukanya tak suka dengan Satriyo, tapi hanya satu perbedaan yang memisahkan aku dan dia.
“mengko sore yen abli Semarang, omongno karo Satriyo!” kata bapak seraya pergi meninggalkan aku
Mungkin beginilah akhirnya. Ku lepaskan penat pagi ini dengan berjalan di sekitar kampungku. Udara di sini masih begitu sejuk, pepohonan masih rindang, sama seperti dulu sewaktu aku masih kecil. Sama juga dengan adat istiadat di sini. Ku berjalan menikmati sekitar, hingga akhirnya sampai ku pada sebuah pohon. Lantas aku terduduk di sana. Mungkin ini kan terasa lengkap jika ada Satriyo di sampingku. Ku rapikan kerudung yang ku pakai. Agak berantakan di terpa angin pagi ini. Tiba-tiba seorang pemuda datang menghampiri aku. Ia tersenyum padaku.
“assalamualaikum...”
“waalaikumsalam....” jawabku
“kapan kau balik ke sini Ran?” tanyanya padaku
“dari kemarin mas” kataku
Inilah pemuda yang di maksud bapak. Hanif, seorang santri yang ada di salah satu pesantren di kampungku. Ini adalah pertemuan keduaku, sejak bapak memperkenalkan dia padaku.
“kau kenapa? Sepertinya banyak masalah?” tanyanya padaku\
“apa aku terlihat begitu?” tanyaku balik padanya
“tentu, apa ada hal penting yang mengganggumu?”
“tidak!” jawabku tak memandangnya
“apa kau keberatan dengan lamaranku kemarin? Aku tak akan memaksa. Kau boleh berpaling jika kau tak menyetujuinya. Aku akan melepasmu Ran.” Katanya
Kulihat sinar matanya. Ia seolah ingin mengabarkan padaku jika ia begitu menginginkan aku menjadi istrinya. Ku lihat sebuah ketulusan diantara ucapannya padaku.
“tidak mas.. sudahlah lebih baik kau pergi, tak baik jika kita berdua di tempat ini” kataku
Kulihat ia pergi meninggalkan aku seraya mengucap salam. Ku tahu pemuda itu baik. Tapi bukankah lebih baik jika aku berdampingan dengan seorang yang ku cintai. Namun aku tak bisa. Betapapu kau melawan, hatiku kan bertambah sakit pula nantinya. Sehabis asyar ini ku putuskan balik ke Semarang. Ku kan coba bicara pada Satriyo. Ku harap ia akan mengerti.
Esuk ini aku berjalan agak cepat. Ku masih bingung tentang perasaanku. Dar kejauhan ku lihat Satriyo berjalan ke arahku. Lantas aku pun berhadapan dengannya,
“bagaimana Ran?” tanyanya padaku
“maaf Yo, tak seharusnya kita seperti ini! Bapak tetap pada perkataaanya dulu” kataku
“tapi, kenapa hanya karena keyakinan” katanya padaku seolah menyalahkan keadaan kami sekarang
“sudah Yo, jangan seperti itu, anggap kita tak saling menyanyangi, anggap semua ini telah berakhir?”
“apa kau bisa melakukannya Ran?, apa kau bisa begitu saja melupakan aku?”
Ku lihat kedua matanya. Namun ku sudah jera.
“tak bisa kan Ran, tak semudah itu aku dan kau saling melupakan”
“lantas bagaimana Yo, memang begini lah adanya.”
“kita bisa menikah tanpa restu?” katanya padaku
“tidak Yo, demi Allah aku tak akan melakukan hal itu!” tegasku
Lantas ku diam, ku lihat ia jelas kecewa. Meski ku memang mencintainya, dan aku mengharapkannya tuk jadi pendampingku, aku tak akan menyanggupi kemauannya itu. Ku lihat ia lantas pergi meninggalkan aku. Ku kira sakit benar hati ini melihat ia pergi. Ku sangka sebelumnya ini tak akan terjadi, namu beginilah memang akhirnya. Ku kan mencoba jalani takdir yang telah tertulis. Sabda telah ku dengar untukku, tak akan ku ingkari. Ku akan melupakan Satriyo. Kan kujalani jalanku sendiri, dan kuharap kau pun menjalani jalanmua sendiri. Aku menyayangimu Satriyo....
No comments:
Post a Comment