Skip to main content

Meaning Indonesia


MEANING INDONESIA
Oleh: Arum Novitasari
Mersing,14Agustus1998, ketika kita malu, pasti kita kan menyembunykan wajah kita. Itu pasti, tak akan dan orang yang berani bertatap muka. Kini ku mulai saat aku berjalan di luar negeri ku sendiri. Aku anak indonesia sejati ku kata. Lahir di I ndonesia itulah hal yang paling bisa aku banggakan. Negeriku itu orang-orang ramah. Luas hamparan tanah dan laut memenuhi ujung ke ujung negeri tercintaku ini. Kini aku berjalan di Mersing. Jika ku lihat begitu jelas orang di sana bicara. Tak lain mereka itu membanggakan negerinya itu sendiri. Aku lalu berdiri di samping mereka. Ku dengar begitu jelas menyengat telingaku. Ku tutup mukaku dengan sebuah topi yang semalam habis ku beli di pasar loak samping apartemenku. Ku lihat seorang gadis kecil berlari terseok-seok dengan sandal jepitnya. Ia berlari setengah pincang. Mungkin akainya jatuh di hantam balok empnya.  Lantas ku lihat tempatnyha berlari. Tiba-tiba seorang penjual martabak datang menghampirinya. Keduanya lalu saling berbicara. Ku kira ku tahu apa maksudnya. Sedikit-sedikit ku terjemahkan ke dalam bahasa negeriku sendiri. Lalu aku jongkok, masih dengan memandangi beberapa orang yang ngoceh di sampingku. Penjual martabak itu dengan hentakan keras menendang pantat si gadis kecil. Ia menangis di tengah jalanan itu. Ku lihat ia dengan percaya diri hal itu. Seketika lalu ku buang perhatianku. Yaang aku tahu gadis kecil itu kawan sebangsaku.
Jam menunjukkkan pukul 20.30 waktu setempat. Aku berlari menuju tempat penuh kesesakan orang dan keramaian malam. Sebuah lagu berkumandang memekik telingaku. Kentara sekali suara dan lagu itu. Kurasa itu milikkku, tapi bukan, sejam lalu negeri orang datang mengambil lirik- lirik merdu lagu itu. Aku diam, ku urut benar dadaku. Pengemis kurus datang menghampiri aku. Ku lihat benar orang itu. Seberapa lama kau tidak mengedip. Ku liaht dari cara dan suaranya, aku kenal benar orang itu. Di negeriku banyak orang berbahasa sepert tiu. Ku geledah jas malam berwarna hitam kelam, ketebalannya sungguh menenangkan jiwa. Jas kulit yang baruku beli seminggu lalu. Ku temukan uang dalam mata ringgit. Satu koin ku ambil dan ku hantarkan kepada orang tiu. Ku tatap keuda mata telah terlihat begitu letih. Kentara benar raut kesedihan, kemalangan, serta kelaparan teramat besar tergambar memenuhi liku wajahnya. Selagi aku melihatnya, orang-orang jalan berlalu lalang membelah keramaian tempat itu. Suara jatuhnya koin, tepat terdengar di depanku.  Aku terperangah. Pengemis lalu merangkak, mencar- cari arah datangnya koin itu. Aku hanya terdiam sambil mengamati matanya. Ia merangkak bagai anjing yang mencari makanannya. Terinjak tangan pengemis oleh orang negeri itu. Ku lihat orang tiu melotot sambil mengumpat pengemis itu dengan bahasa ala orang negeri tiu. Pengemis merunduk tak berani menatap mata orang tiu. Bajunya yang mungkin lama tak ia ganti mulai habis ditelan waktu.
            Ku tinggal pergi sendiri oran tiu di sana. Ku susuri pasar-pasat raksasa yang megah di samping mnara bursa uang. Gedung tiu bercat orange bergaris hitam. Lampu- lampunya terang menghiasi dinding dan tempat di dalamnya. Aku mulai bertanya pada diriku sendiri setelah kulihat hal yang mungkin tak biasa ku lihat di negeri-negeri orang lainnya. Baju itu sama seperti pakaian yang bisa di pakai bapakku di kampung kami dulu. Kulihat dan kubaca dari mana pakaian itu di buat. Aku sudah yakin benar kan bangga ingin menyebutkan itu buatan negeriku. Namun, begitu kulihat jels merk pakaian itu. Sungguhtak ada satu katapun yang mengatakan itu buatan negeriku sendiri. Bapak ibuku dulu begitu bangga menceritakan suatu hal tentang pakaian itu. Buatan orang Jawa, kata bapakku. Di buat begitu teliti dengan keindahan mutlak negeri kami. Motif- motif keraton biasa yang ibu buat untukku. Nenek moyang kami, begitulah ibuku selalu menyuarakan empunya pakaian adat bangsa kami. Ku perhatikian lagi tempat sekitar itu. Kulihat begitu jelas, gemboran keras penjaul yang dengan bengganya memamerkan produk buatan mereka sendiri ide dari negeriku. Seberapa pantas mereka mengtakan itu. Tak punya malu, kukata dalam htai hendak mengumpat penjual batik toko ini. Kebocoran seperti ini sudah biasa aku ketehui. Kecolongan berkali-keli negeriku itu. Kuraba kain yang ku pegang di toko itu. Tak sehalus buatan negeri kami. Motif-motifnyha pun terlalu jelek menurutku. Tak seolok kepuyaan kami. Kuletakkan kembali kain batik itu di atas tumpukan kain lainnya. Keramain malam ini membuatku lelah dan teramat letih. Aku hendak menutup kedua mataku, namun di ujung sana, gelombang-gelonbang suara dengan dentingan merdu menyusutkan mataku. Sekumpulan orang begitu senyap memperhatikan gera-gerik seorang penari. Seorang perempuan tua berdiri di sampingku, tepatnya di sebelah kiriku. Ku mulai mengajaknya berbicara. Suaranya lirih habis di sikat alunan merdu musik pengiring tarian itu. Dia hanya mengangguk-angguk saja kiranya. Lalu ku jongkok menikmati iringan musik. Gerak-gerik mata penari itu begitu tajam dengan irama mata yang tegas. Bola matanya bak menari-neri ke sana kemari. Mahkotanya terbuat dari kuningan, namun begitu indah silihat. Tek lupa lehernya itu bergerek bak ular hendak menangkap mangsanya. Tenun yang mereka pakai, begitu lekat dengan penari-penari Bali, di negeriku.
            Ku tutup mataku. Ku ingat benar dulu sewaktu aku datang berkunjung ke Bali. Ku habiskan wakru bersama teman-teman se SMA ku. Di sana kami pernah melihat tarian itu. Sedikit- sedikit aku bisa gerakan tarian itu. Sama persisi dengan tarian-tarian penari di tempat ini sekarang. Maksudnya apa? Aku berdiri dari sikap jongkokku tadi. Ku miringkan topi hitamku. Aku maju tiga langkah ke depan. Ku rapatkan kakiku, tanganku mulai meregang dan kaku. Mataku yang seolah tadinya idam, mulai berlenggok menatap ke kanan, kiri, depan, dan atas. Leher pendekku mulai aku gerakan seirama alunan penari lain. Ku gerakkkan semua anggota tubuhku. Kulihat dengan cermat ekspresi penonton yang membentuk lingkaran mengelilingi penari Pendet itu. Bak penari handal Bali, aku peragakan tari Pendet asal Bali. Orang- orang di sekitar terdiam, namun lemparan tomat mendera jas kulit tebal milikku. Ku permalukan semua orang asli negeri itu di hadapan para turis lain. Kedua pipiku mulai melebar. Ku usap dengan sebuah sapu tangan dalam jas kulitku itu. Kepuasan tiada tandingannya untukku. Orang-orang mulai menjauh dan meninggalkan tempatku berpijak. Anda pujian ku terima melalui jabatan tangan penonton yang sependapat denganku. Yang tak suka ku biarkan berlalu dengan wajah kepuasan. Ku hampir saja malu jika tiada yan sependapat denganku. Wanita tua yang tadinyamberada di sampingku, datang menghapiri aku. Dijabatnya tanganku, tersenyum dengan mengucap kata “kau hebat anak muda”. Ku hanya tersenyum pendek kepadanya. Kiranya aku tahu jika wanita tua itu mengetahui dari negeri mana aku berasal. Tanpa ku sebutkan tentunyamoarang-orang itu tahu lewat sikap dan rupaku. Meski tak jauh beda rupaku dengan orang asli negeri ini. Tapi kami tentunya berbeda tabiat.
            Ku luruskan topi yang semula kumiringkan. Seberapa pantas mereka melempariku dengan sebuah tomat. Ku rasa ku harus menguasai adat negeriku untuk ku pamerkan ke seantero negeri orang lain. Ku tarik nafas terdalamku. Ku langakhkan lagi kakiku. Sepatu bututku ku perhatikan sudah tak layak untuk ku pakai. Kuu lihat alasnya sudah mulai hilang, halus termakan aspal-aspal jalanan negeri ini. Samping sepatuku pun mulai pudar. Termenung aku di tabrak seorang gadis kecil yang berlari ke arahku. Ku elus kepala anak itu. Lalu ku bertanya padanya. Kau kenapa? Ia mulai bercerita padaku. Ku dengar kata-katanya nampak tak jelas ku dengar. Ku mulai menerjemahkan satu demi satu perkataan anak itu. Ia berkata sebuah bentuk orang, namun dengan tatanan yang sangat unik. Mempunyai sebuah mahkota. Pakaiannya seperti para prajurit kerajaan. Ku bertanya lagi, lalu apa? Anak itu berkata “itu khas negeri saya”. Ku lihat ia berdiri, lalu mulai menunjuk dengan jarinya. Kuperhatikan tangannya menunjuk pada sebuah Wayang yan terpajang jelas di depan toko pernak-pernik di ujung kiri jalan tempatku berdiri. “Wayang!” kataku dalam hati. Kenapa terpajang di tempat itu. Aku selalu menang dalam hal apapun. Tapi mengapa negeriku tak cukup perkasa untuk menjaga yang mereka milikki. Adat dan hasil dari nenek moyang kami terasa membosankan di negeriku sendiri. Disebar seperti tak dibutuhkan. Para burung-berung liar berkerubung menangkapnya dan mengeraminya. Negeriku kalah begitu saja. Seberapa pantas mereka membiarkan perlakuan itu? Negeri dan tempatku berpijak ini adalah satu rumpun. Tak jauh beda memang wajah-wajah kami ini. Namun negeriku ini selalu kalah dari tempatku berpijak ini. Ku beranjak pergi dari tempatku semula. Ku berjalan menuju teras tempatku tinggal di sini. Ku copot topi serta jaket kulitku. Sejenak aku diam melihat lalu lalang orang di tempat itu.
            Ku buka tas ransel yang sepanjang hari ini terus saja ku gendong. Warnanya yang tadinya hitam malam ini bertambah kelam. Ku buka perlahan, kertas putih ku ambil dan ku letekkan di atas meja tempatku terduduk. Sesekali ku pijit kedua kakiku yang seharian ini tanpa lealh ku ajak mengitari negeri orang ini. Terlihat titik- titik biru di sana. Ku hela nafas dalam- dalam. Ku rogoh kantong jas yang semula ku sandarkan di tempat ak duduk. Ku ambil sebuah bolfoin bermerk. Ku tulis suatu cerita rahasia tentang kenyataan hidup dua negeri yang berbeda. Perjalananku sepanjang hari ku rangkai dengan kata yang menusuk dada. Kutuliskan cerita untuk anak cucuku nanti. Suatu hari nanti mereka harus tahu tentangku, negeriku, dan negeri pencuri ini. Yang ku tahu yang terbaik adalah milik negeriku.

Comments

Popular posts from this blog

Sang Penyair Mustafa Lutfi Al Manfaluthi

Sang Penyair "Allah Maha Pembuka Pintu Hati" Aku akan bahagia karena aku adalah sang penyair, seorang penyair bersandiwara dengan fitrahnya. Ia akan merasakan kenikmatan dengan memakai pakaian yang bukan jubahnya, menampakkan perasaan jiwa yang bukan suara hatinya. Ia berperan sebagai orang 'gila', padahal ia cerdas. Berperan sebagai pengecut, padahal ia berani. Berperan bahagia padahal ia... menderita. Ia juga dapat berperan sebagai pecinta, yang menekan getaran cinta dihati untuk kebahagiaan orang lain. Ia akan mendengar suara kalbuku yang terucap dari mulutmu, merasakan jiwa dan ruhku dari tubuhmu. Meminum perasaan sukmaku dengan gelasmu, menyanyikan irama laguku dari kenyaringan suaramu. Aku hidup bebas, tertawa dan menangis sesuka hatiku. Bebas mengatur langkah-langkahku, mengangkat kepala dan berahasia, serta menulis kasidah sesuka hatiku. Aku juga bebas meninggalkan karya-karyaku tanpa harus menyesal. Aku bebas melahirkan kasidah tanpa tergantung pujian da

SYAIR CINTA LAILA MAJNUN

SYAIR CINTA LAILA MAJNUN Part I Kerabat dan handai- taulanku mencela Karena aku telah dimabukkan oleh dia Ayah, putera- putera paman dan bibik Mencela dan menghardik aku Mereka tak bisa membedakan cinta dan hawa nafsu Nafsu mengatakan pada mereka, keluarga kami berseteru Mereka tidak tahu, dalam cinta tak ada seteru atau sahabat Cinta hanya mengenal kasih sayang Tidakkah mereka mengetahui? Kini cintaku telah terbagi Satu belahan adalah diriku Sedang yang lain ku berikan untuknya Tiada tersisa selain untuk kami Wahai burung- burung merpati yang terbang diangkasa Wahai negeri Irak yang damai Tolonglah aku Sembuhkan rasa gundah- gundah yang membuat kalbu tersiksa Dengarkanlah tangisanku Suara batinku Waktu terus berlalu, usia makin dewasa Namun jiwaku yang telah terbakar rindu Belum sembuh jua Bahkan semakin parah Bila kami ditakdirkan berjumpa Akan kugandeng lengannya Berjalan bertelanjang kaki menuju kesunyian Sambil

REPRODUKSI KARYA ILMIAH

REPRODUKSI KARYA ILMIAH Reproduksi karya ilmiah merupakan bentuk karya ilmiah yang disusun atas dasar karya ilmiah yang sudah ada. Dimana digunakan untuk menggubah karya ilmiah yang sudah ada, baik dalam bentuk ringkasan, ikhtisar maupun resensi buku. Bentuk reproduksi ilmiah antara lain: 1.       Ringkasan, Ikhtisar, Sinopsis Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung makna: a.        Sinopsis n ikhtisar karangan ilmiah yang biasanya diterbitkan bersama- sama dengan karangan asli ynag menjadi dasar sinopsis itu; ringkasan; abstraksi. b.       Ringkasan: hasil meringkas; ikhtisar; singkatan cerita, dll. c.        Ikhtisar: n pandangan secara ringkas, ringkasan. Jadi pada dasarnya ringkasan, ikhtisar dan sinopsis sama. Hanya saja terjadi perbedaan dalam penggunaan kata- kata tersebut. Sinopsis adalah bentuk meringkas yang mana berasal dari karya ilmiah yang panjang. Biasanya digunakan untuk ringkasan berupa karya fiksi. Ringkasan sendiri sebagai hasil meringkas miniatur karangan