Monday, November 4, 2013

Mencari Sang Penyair: Mustafa Luthfi Al Manfaluthi

Mencari Sang Penyair: Pembuka Novel

aku akan bahagia karena aku adalah Sang Penyair. Seorang penyair bersandiwara dengan fitrahnya. Ia akan merasakan kenikmatan dengan memakai pakaian yang bukan jubahnya, menampakkan perasaan jiwa yang bukan suara hatinya. Ia berperan sebagai orang gila, padahal dia orang yang cerdas. Berperan sebagai pemberani, padahal ia pengecut. Berperan bahagia, padahal ia..... menderita. Ia juga dapat berperan sebagai pecinta, yang menekan getaran cinta di hati untuk kebahagian orang lain.
Dia akan mendengar suara kalbuku yang terucap dari mulutmu, merasakan jiwa dan ruhku dati tubuhmu. Meminum perasaan sukmaku dari gelasmu, menyanyikan irama laguku, tetapi dari kenyaringan suaramu.”
Demikian petikan dialog antara Sreno de Borjork, Sang Penyair, dengan Baron Christian de Nofet, sahabat sekaligus rival dalam cinta. Dialog tersebut bisa anda baca lebih lanjut dalam halaman- halaman buku ini. Namun dari kalmat tersebut kita bisa mengajukan beberapa pertanyaan,  benarkah jiwa penyair seperti lilin, rela hangus terbakar dan sirna untuk menghindarkan dunia dari kegelapan, menekan getaran cinta di hati untuk kebahagiaan orang lain? Benarkah seorang penyair yang memilki kelembutan juwa, bisa menanggalkan selubung kemanusiaannya, dan terbang menjadi super human, berjiwa dewa, berhati malaikat, dan bersedia menyerahkan apa yang ia miliki untuk musuh sekalipun? Mampu menekan bahkan mengubur segala ambisi, kecuali ambisi untuk membahagiakan orang lain.
Jika ada manusia seperti itu, maka kita perlu berguru mengenai perasaan cinta- kasih yang saat ini sudah menjadi ‘barang’ langka di negeri yang memiliki budaya adi luhung ini.
Atau mungkin perasaan yang oleh tokoh utama novel ini disebut jiwa penyair, sebenarnya dimiliki smeua orang yang sedang dibelai desir lembut angain cinta? Sehingga dengan cinta, yang kerap disebut ‘mention of god’ Sabda Tuhan, manusia memiliki kepekaan jiwa, dan mengangkat dimensi kemanusiaan menjadi sebaik-baik bentuk, insan kamil, atau manusia sempurna, karena selalu ingat, tepaslira, tenggangrasa dengan manusia lain. Ikut menangais jika melihat penderitaan orang lain. Ikut menangis jika melihat kesedihan orang- orang yang merana, marah bersama kepedihan kaum tertindas, bangkit mengangkat kesaksian bersama kaum mustadh’afin, serta tidak ikut menjarah, memperkosa, merampas harta, kekayaan dan kebahagiaan orang lain. Mansia yang dalam hatinya ada satu partikel cinta, mampu menghadirkan kesejukan, menawarkan kebahagiaan, memberikan penghargaan pada manusia lain, tanpa harus memandang perbedaan suku, agama, ras, dan budaya, seperti Sreno yang bersedia membantu, walau Christian bukan orang Ceskonia.
Jika memang cinta bisa menghadirkan jiwa-jiwa tercerahkan, menjadikan manusia seperti matahari yang memberikan sinar kepada siapapun, maka kita perlu mencari ‘cinta’ yang sejak beberapa waktu terkahir nyaris punah di negeri yang penuh sopan santun ini.
Atau mungkin seorang penyair memang diberi anugrah oleh Tuhan, untuk mengurai hakekat cinta, meninggalkan jejak cinta agar dapat menjadi pelajaran, mengabarkan ‘sabda Tuhan’ dalam hati agar manusia bercermin, seseiakli menghapus daki-daki dengan ‘pembersih’ moral, dan terkadang memakai ‘bedak’ etika serta ‘parfum’ tauladan. Sehingga manusia dapat berbenah diri, dan selalu tampil menyenangkan bagi manusia lain.
Jika memang demikian, mengapa Tuhan tidak memberi anugrah pada bangsa yang beragama ini seorang penyair yang dapat membawa kesejukan, memadamkan bara api dendam dan ambisi tanpa batas?
            Walaupun kita sering berguru pada Muhammad SAW tentang ketulusan jiwa, menyimak wejangan kelembutan dari Isa Almasih, berdiskusi tentang bagaimana menjadi seorang bijak pada Sidharta Budha Gautama, atau sesekali asyik-masyuk merasakan mahabbah dari Rummi, menghayati kepedihan dan menerbangkan angan-angan di bawah bimbingan Kahlil Gibran, dan banyak tokoh lain, tapi mengapa keakraban kita dengan mereka tidak pernah berbuah pada tingkah laku berbangsa dan bernegara? Mengapa justru perilaku kuta sangat dekat dengan Machiavelli, Mussolini, Hitler, Dasamuka, Mak Lampir dan tokoh- tokoh bengis lain?
            Atau mungkin keindahan dunia dan kebaikan manusia hanya ada dalam syair para penyair, diangan-angan kaum pecinta, goresan kuas para peluki, disuara merdu bak bulh perindu para penyanyi, dikepusingan kaum filsuf, dalam rumus-rumus memabukkan kaum cerdik-pandai?sebab cinta, keindahan dunia, kebaikan manusia tidak pernah hadir dalam diri kita. Senantiasa kita melihat amuk dendam, api peperangan, ambisi tirani, mantra-mantra membius dan memabukkan para politisi dan jendral perang, yang semua itu tidak indah, tidak baik dan tidak sesuai dengan hakekat cinta.
Para jendral perang selalu dengan lantang mengatakan “Atas dasar cinta tanah air, mari kita bunuh musuh kita, “

No comments:

Post a Comment

Kita ini apa?