Mencari Sang Penyair: Pembuka Novel
“aku
akan bahagia karena aku adalah Sang Penyair. Seorang penyair bersandiwara
dengan fitrahnya. Ia akan merasakan kenikmatan dengan memakai pakaian yang
bukan jubahnya, menampakkan perasaan jiwa yang bukan suara hatinya. Ia berperan
sebagai orang gila, padahal dia orang yang cerdas. Berperan sebagai pemberani,
padahal ia pengecut. Berperan bahagia, padahal ia..... menderita. Ia juga dapat
berperan sebagai pecinta, yang menekan getaran cinta di hati untuk kebahagian
orang lain.
Dia akan
mendengar suara kalbuku yang terucap dari mulutmu, merasakan jiwa dan ruhku
dati tubuhmu. Meminum perasaan sukmaku dari gelasmu, menyanyikan irama laguku,
tetapi dari kenyaringan suaramu.”
Demikian petikan
dialog antara Sreno de Borjork, Sang Penyair, dengan Baron Christian de Nofet,
sahabat sekaligus rival dalam cinta. Dialog tersebut bisa anda baca lebih
lanjut dalam halaman- halaman buku ini. Namun dari kalmat tersebut kita bisa
mengajukan beberapa pertanyaan, benarkah
jiwa penyair seperti lilin, rela hangus terbakar dan sirna untuk menghindarkan
dunia dari kegelapan, menekan getaran cinta di hati untuk kebahagiaan orang
lain? Benarkah seorang penyair yang memilki kelembutan juwa, bisa menanggalkan
selubung kemanusiaannya, dan terbang menjadi super human, berjiwa dewa, berhati malaikat, dan bersedia
menyerahkan apa yang ia miliki untuk musuh sekalipun? Mampu menekan bahkan
mengubur segala ambisi, kecuali ambisi untuk membahagiakan orang lain.
Jika ada manusia
seperti itu, maka kita perlu berguru mengenai perasaan cinta- kasih yang saat
ini sudah menjadi ‘barang’ langka di negeri yang memiliki budaya adi luhung ini.
Atau mungkin perasaan
yang oleh tokoh utama novel ini disebut jiwa penyair, sebenarnya dimiliki smeua
orang yang sedang dibelai desir lembut angain cinta? Sehingga dengan cinta,
yang kerap disebut ‘mention of god’ Sabda
Tuhan, manusia memiliki kepekaan jiwa, dan mengangkat dimensi kemanusiaan
menjadi sebaik-baik bentuk, insan kamil, atau manusia sempurna, karena selalu
ingat, tepaslira, tenggangrasa dengan
manusia lain. Ikut menangais jika melihat penderitaan orang lain. Ikut menangis
jika melihat kesedihan orang- orang yang merana, marah bersama kepedihan kaum
tertindas, bangkit mengangkat kesaksian bersama kaum mustadh’afin, serta tidak
ikut menjarah, memperkosa, merampas harta, kekayaan dan kebahagiaan orang lain.
Mansia yang dalam hatinya ada satu partikel cinta, mampu menghadirkan kesejukan,
menawarkan kebahagiaan, memberikan penghargaan pada manusia lain, tanpa harus
memandang perbedaan suku, agama, ras, dan budaya, seperti Sreno yang bersedia
membantu, walau Christian bukan orang Ceskonia.
Jika memang cinta
bisa menghadirkan jiwa-jiwa tercerahkan, menjadikan manusia seperti matahari
yang memberikan sinar kepada siapapun, maka kita perlu mencari ‘cinta’ yang
sejak beberapa waktu terkahir nyaris punah di negeri yang penuh sopan santun
ini.
Atau mungkin seorang
penyair memang diberi anugrah oleh Tuhan, untuk mengurai hakekat cinta,
meninggalkan jejak cinta agar dapat menjadi pelajaran, mengabarkan ‘sabda
Tuhan’ dalam hati agar manusia bercermin, seseiakli menghapus daki-daki dengan
‘pembersih’ moral, dan terkadang memakai ‘bedak’ etika serta ‘parfum’ tauladan.
Sehingga manusia dapat berbenah diri, dan selalu tampil menyenangkan bagi
manusia lain.
Jika memang demikian, mengapa Tuhan tidak
memberi anugrah pada bangsa yang beragama ini seorang penyair yang dapat
membawa kesejukan, memadamkan bara api dendam dan ambisi tanpa batas?
Walaupun
kita sering berguru pada Muhammad SAW tentang ketulusan jiwa, menyimak wejangan
kelembutan dari Isa Almasih, berdiskusi tentang bagaimana menjadi seorang bijak
pada Sidharta Budha Gautama, atau sesekali asyik-masyuk merasakan mahabbah dari
Rummi, menghayati kepedihan dan menerbangkan angan-angan di bawah bimbingan
Kahlil Gibran, dan banyak tokoh lain, tapi mengapa keakraban kita dengan mereka
tidak pernah berbuah pada tingkah laku berbangsa dan bernegara? Mengapa justru
perilaku kuta sangat dekat dengan Machiavelli, Mussolini, Hitler, Dasamuka, Mak
Lampir dan tokoh- tokoh bengis lain?
Atau
mungkin keindahan dunia dan kebaikan manusia hanya ada dalam syair para
penyair, diangan-angan kaum pecinta, goresan kuas para peluki, disuara merdu
bak bulh perindu para penyanyi, dikepusingan kaum filsuf, dalam rumus-rumus memabukkan
kaum cerdik-pandai?sebab cinta, keindahan dunia, kebaikan manusia tidak pernah
hadir dalam diri kita. Senantiasa kita melihat amuk dendam, api peperangan,
ambisi tirani, mantra-mantra membius dan memabukkan para politisi dan jendral
perang, yang semua itu tidak indah, tidak baik dan tidak sesuai dengan hakekat
cinta.
Para jendral perang selalu dengan lantang
mengatakan “Atas dasar cinta tanah air, mari kita bunuh musuh kita, “
Comments
Post a Comment